Oleh: M. Syahrul Qodri
Teater merupakan suatu kesatuan yang diciptakan oleh pemain, pengarang cerita, dan penonton (Asrul Sani). Definisi di atas mengandung pengertian adanya proses kolektif dalam sebuah pengalaman kelembagaan (organisasi), kaidah berkesenian (artistik), dan orientasi proses (idiologi), atau Organisasi-Artistik-Orientasi (OAO). In Bene Ratih (2005:313) menyebutkan teater merupakan sebuah proses dalam berkesenian di mana setiap pelakunya menjalani tahap-tahap pelatihan diri (meliputi kepekaan gerak, vocal, dan karakter) untuk kemudian disajikan dalam bentuk pertunjukan yang dilakukan oleh suatu komunitas kepada publik.
Lebih jauh berbicara tentang sebuah karya seni, Abrams (1971:6-7) mengemukakan empat elemen dalam situasi total karya seni yang tidak bisa didiskriminasikan satu per satu dengan menyatakan elemen mana yang lebih penting. Keempat element tersebut adalah: (1) work, karya seni itu sendiri; (2) artist, senimannya atau human product serta artefak; (3) universe, masyarakat dan kegiatannya, ide dan perasaan, pemikiran dan peristiwa, dan juga alam semesta; dan (4) audience, yaitu pendengar, penonton, atau pembaca, di mana karya seni itu diperuntukkan.
Hal ini menunjukkan adanya suatu kesatuan ontologism yang utuh, dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Seorang atau sekelompok artist memunculkan sebuah karya, pasti dipengaruhi oleh universe, entah itu dari latar pendidikan, ideologi, atau bahkan pesanan dari penyelenggara. Audience menjadi konsumen yang yang akan menikmati hasil karya seni tersebut.
Basuki (2008) mengatakan, dalam membahas sejarah teater seseorang tidak bisa terbebas dari bias-bias pemikiran dan nilai-nilai, meskipun ia sendiri memimpikan bahwa dunia teater di
Pada dasarnya, persoalan perteateran Indonesia bukan terletak pada ideologi teater yang mengusung terciptanya teater itu, tetapi teletak pada konsep berteater yang tidak jelas runtutannya, atau bisa dikatakan meloncat-loncat, dari konsep tradisional Indonesia, ke realisme, kembali ke zaman yunani kuno, masuk lagi ke zaman klasik, dan tiba-tiba muncul lagi konsep surealisme, atau bahkan absurd.
Tataran Konsep Teater
Rendra yang disebut-sebut sebagai salah seorang pelopor teater modern
Jika halnya demikian, kembali saya bertanya, yang seperti apakah teater modern (
Mungkin perlu dipertanyakan lagi pendapat Soemarjo yang mengatakan awal mula teater modern Indonesia muncul pada tahun 1880 bersama rombongan teater Jaafar, dilanjutkan dengan Stambul, atau bahkan Dardaneila (2004:99-141). Perlu juga diperhatikan tulisan Saini KM (1988:1) yang mengatakan bahwa teater modern
Jika halnya demikian, bagaimana kita mengidentifikasi teater-teater karya Emha Ainun Nadjib, Teater Koma, Teater Mandiri, Teater Gandrik, yang dikatakatan sebagai teater modern Indonesia tetapi sering kali melibatkan unsur-unsur tradisional?
Persoalan-persoalan pendefinisian ini terus menjadi masalah hingga saat ini, dan ini tiada lain dikarenakan oleh minimnya pemahaman konsep teater itu sendiri, bukan terletak pada maslah ideologi. Hal ini terlihat jelas jika kita mewancarai beberapa tokoh teater di Indonesia. Mereka mengakui bahwa ketika mempersiapkan sebuah pementasan teater, mereka mengenyam sebuah naskah yang sudah jadi, menginterpretasikan naskah itu sesuai dengan keterbatasan pemahamannya, lalu dikritisi oleh para kritikus dengan memberikan berbagai istilah yang dibuat-buat (tanpa konsep pula) untuk melontarkan kekaguman dan pujian terhadap kelompok teater itu.
Tidak menutup kemungkinan, persoalan-persoalan ini akan terus dipersoalkan, hingga suatu saat nanti munculnya seorang teaterwan yang baru, yang mempertanyakan kembali seperti apa teater Indonesia sebenarnya. Hal ini adalah menjadi tugas kita bersama, dan berharap suatu saat nanti diadakan sebuah konferensi teater untuk menata kembali konsep-konsep yang sedemikian kaburnya itu. Dan sebelum itu terjadi, saat ini saya secara pribadi lebih suka menyebut teater kita sebagai teater Indonesia, tanpa adanya embel-embel modern, yang kemudian jika ingin dilekatkan pada suatu konsep bisa lebih lentur, misalnya menjadi teater realisme Indonesia, atau teater absurd Indonesia, dan lain sebagainya.
Antara Ideologi dengan Habitus Penonton
Jika pertanyaan ini muncul, perhatian kita akan tertuju pada fungsi teater itu sendiri. Kalau misalnya Basuki memimpikan dunia tetaer semaju atau senormal dunia musik, identifikasi maju itu itu sendiri seperti apa? Apakah maju dari segi popularitas yang usia popularitas seni musik kita saat ini tidak lebih dari satu bulan. Ataukah maju dari sisi kualitas? Standar apa yang menunjukkan
Untuk menjawab persoalan ini, sejenak kita melihat perjalanan Shakespeare di abad XVI, karya-karya yang dipublikasikan mulai dari Titus Andronicus, Romeo & Juliet, Julius Caesar, Hamlet, sampai pada Timon of Athens, semuanya itu berangkat dari kisah-kisah klasik. Ia begitu rajin berburu cerita ke
Hal yang serupa dilakukan pula oleh Riantiarno (teater Koma). Ia mencoba menjelajahi berbagai macam seni di wilayah nusantara, dan ia mendapatkan luar biasa banyak kesenian etnis yang masih hidup dan dipelihara hingga saat ini, meskipun pengaruh modernitas mulai memudarkan fungsi ritual pada kesenian itu.
Begitu juga halnya Teater Gandrik dengan mencoba mengangkat sisi tradisional ke atas pentas teater, yang tidak sedikit menggunakan inprovisasi, bahasa local, dan musik tradisional. Anehnya, pentas Teater Koma dan Teater Gandrik tidak pernah sepi dari penontonnya. Dan bahkan untuk bisa menonton pementasan teater itu, kadang butuh calo agar bisa mendapatkan tiket meski
Jika dilihat secara sosiologis, hal ini menunjukkan bahwa sebuah kelompok teater berada di sebuah tempat (field). Kemudian tempat itu akan selalu mempengaruhi keberadaannya. Jika sebuah kelompok teater tidak peduli dengan tempatnya, (misalnya tidak peduli dengan penonton), maka keberadaan teater itu pun senantiasa hidup dan dinikmati oleh kalangan sendiri (bukankah ini disebut onani), bukan menjadi milik masyarakatnya. Dari sisi pendekatan antropologis, sebuah kelompok teater, bisa menjadi agen
Sebenarnya menonton adalah suatu aktivitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan makna. Penonton adalah pencipta kreatif makna (mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual) dan mereka melakukannya berdasarkan atas kompetensi kultural yang dimiliki sebelumnya yang dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial Chris Barker (2000:281). Lebih jauh, ia mengatakan bahwa teks membawa berbagai makna, dan hanya sedikit makna yang dapat diambil oleh penonton. Memang, penonton yang terbentuk dengan cara yang berbeda akan mengerjakan makna tekstual secara berbeda pula. Penonton dikonsepsikan sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengatahuan luas, bukan produk dari teks yang terstrukturkan.
Menonton seni pertunjukan adalah sebuah tindakan atau praktek individu/ kelompok dengan membawa dan mempertaruhkan berbagai bentuk modal yang dimilikinya dalam ranah seni pertunjukan, yang pada akhirnya secara tidak disadari menjadi habitus yang melekat pada diri seseorang/kelompok. Dalam hal ini, rumus generatif yang diajukan oleh Bourdieu (habitus x modal) + ranah = praktek terurai bersama
Berarti, masyarakat datang menonton bukan dengan harapan kosong. Mereka memiliki modal social dan modal ekonomi yang akan mempengaruhi pandangannya terhadap sebuah pertunjukan. Artinya, perlu diingat bahwa masyarakat kita juga memiliki pandangan trersendiri tentang teater, dan bisa jadi pandangannya kurang cocok jika dibandingkan dengan teater tradisi yang mereka miliki.
Hal ini berarti pula, tidak ada salahnya jika pelaku teater Indonesia yang digagas dan dikonsumsi oleh kaum terpelajar menjalin hubungan yang harmonis dengan teater tradisi yang kita miliki, yang pada akhirnya nanti bisa saling mengisi dan saling mempengaruhi; dan bukan memutus hubungan masyarakat dengan orang-orang yang terpelajar itu.
Penutup