Sabtu, 08 November 2008

TEATER INDONESIA: ANTARA KONSEPSI TEATER, SELIMUT IDEOLOGI, ATAU HABITUS PENONTON

Oleh: M. Syahrul Qodri


Teater merupakan suatu kesatuan yang diciptakan oleh pemain, pengarang cerita, dan penonton (Asrul Sani). Definisi di atas mengandung pengertian adanya proses kolektif dalam sebuah pengalaman kelembagaan (organisasi), kaidah berkesenian (artistik), dan orientasi proses (idiologi), atau Organisasi-Artistik-Orientasi (OAO). In Bene Ratih (2005:313) menyebutkan teater merupakan sebuah proses dalam berkesenian di mana setiap pelakunya menjalani tahap-tahap pelatihan diri (meliputi kepekaan gerak, vocal, dan karakter) untuk kemudian disajikan dalam bentuk pertunjukan yang dilakukan oleh suatu komunitas kepada publik.

Lebih jauh berbicara tentang sebuah karya seni, Abrams (1971:6-7) mengemukakan empat elemen dalam situasi total karya seni yang tidak bisa didiskriminasikan satu per satu dengan menyatakan elemen mana yang lebih penting. Keempat element tersebut adalah: (1) work, karya seni itu sendiri; (2) artist, senimannya atau human product serta artefak; (3) universe, masyarakat dan kegiatannya, ide dan perasaan, pemikiran dan peristiwa, dan juga alam semesta; dan (4) audience, yaitu pendengar, penonton, atau pembaca, di mana karya seni itu diperuntukkan.

Hal ini menunjukkan adanya suatu kesatuan ontologism yang utuh, dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Seorang atau sekelompok artist memunculkan sebuah karya, pasti dipengaruhi oleh universe, entah itu dari latar pendidikan, ideologi, atau bahkan pesanan dari penyelenggara. Audience menjadi konsumen yang yang akan menikmati hasil karya seni tersebut.

Basuki (2008) mengatakan, dalam membahas sejarah teater seseorang tidak bisa terbebas dari bias-bias pemikiran dan nilai-nilai, meskipun ia sendiri memimpikan bahwa dunia teater di Indonesia perlu mandiri dan utuh. Pernyataan Basuki tersebut justru menimbulkan suatu pertanyaan yang baru, yaitu kemandirian dan keutuhan yang bagaimana? Mandiri dari apa?

Pada dasarnya, persoalan perteateran Indonesia bukan terletak pada ideologi teater yang mengusung terciptanya teater itu, tetapi teletak pada konsep berteater yang tidak jelas runtutannya, atau bisa dikatakan meloncat-loncat, dari konsep tradisional Indonesia, ke realisme, kembali ke zaman yunani kuno, masuk lagi ke zaman klasik, dan tiba-tiba muncul lagi konsep surealisme, atau bahkan absurd.


Tataran Konsep Teater Indonesia

Sejak awal mula saya menggeluti dunia teater, ada istilah yang selalu menggelitik pemikiran, yaitu teater modern Indonesia. Entah siapa yang memulai istilah ini, tetapi perlu dicermati bahwa kata modern sendiri muncul pada akhir abad ke-18, yaitu pada masa realisme. Bahkan di Barat sendiri hingga saat ini penyebutan teater modern atau modern drama yang dipelopori oleh Henrik Ibsen 1879 lebih dikenal atau lebih sering disebut sebagai teater realism. Barat sebagai orang-orang yang memiliki kebudayaan maju itu, tidak memberikan istilah dengan bersandar pada suatu masa, tetapi lebih pada tataran konsep, yaitu Barok, Klasik, Romantic, Realism, Surealisme dan sebagainya. Lalu mengapa muncul istilah modern di perteateran Indonesia?

Rendra yang disebut-sebut sebagai salah seorang pelopor teater modern Indonesia, juga memiliki konsep yang meloncat-loncat itu. Ia mementaskan naskah-naskah karangan Shakespeare yang note bene adalah naskah klasik, atau Oedipus karya Sophocles adalah masa Yunani. Rendra kembali muncul dengan konsep mini kata, yang tidak lain adalah pengaruh dari konsep surealisme (Asa, Syu’bah. 2000:243-253). Di samping itu, beberapa kelompok teater lainnya juga mementaskan naskah-naskah terjemahan dengan mengadaptasikannya pada keberadaan kelompoknya di Indonesia, tanpa mempelajari konsep di balik peristiwa munculnya naskah itu.

Jika halnya demikian, kembali saya bertanya, yang seperti apakah teater modern (Indonesia) itu?

Mungkin perlu dipertanyakan lagi pendapat Soemarjo yang mengatakan awal mula teater modern Indonesia muncul pada tahun 1880 bersama rombongan teater Jaafar, dilanjutkan dengan Stambul, atau bahkan Dardaneila (2004:99-141). Perlu juga diperhatikan tulisan Saini KM (1988:1) yang mengatakan bahwa teater modern Indonesia didukung oleh masyarakat perkotaan dan cara berfikir Barat. Pendapat ini didukung oleh Radhar Panca Dahana (2001:16) yang memberikan pemahaman terhadap teater modern sebagi bentuk kerja seni pertunjukan perkotaan yang dilandasi pemikiran (mise en scene) Barat, menggunakan bahasa Indonesia, sebagai medium utamanya, serta memiliki kebebasan fakultatif dalam proses kreatif maupun pemilihan idiom-idiom panggungnya.

Jika halnya demikian, bagaimana kita mengidentifikasi teater-teater karya Emha Ainun Nadjib, Teater Koma, Teater Mandiri, Teater Gandrik, yang dikatakatan sebagai teater modern Indonesia tetapi sering kali melibatkan unsur-unsur tradisional?

Persoalan-persoalan pendefinisian ini terus menjadi masalah hingga saat ini, dan ini tiada lain dikarenakan oleh minimnya pemahaman konsep teater itu sendiri, bukan terletak pada maslah ideologi. Hal ini terlihat jelas jika kita mewancarai beberapa tokoh teater di Indonesia. Mereka mengakui bahwa ketika mempersiapkan sebuah pementasan teater, mereka mengenyam sebuah naskah yang sudah jadi, menginterpretasikan naskah itu sesuai dengan keterbatasan pemahamannya, lalu dikritisi oleh para kritikus dengan memberikan berbagai istilah yang dibuat-buat (tanpa konsep pula) untuk melontarkan kekaguman dan pujian terhadap kelompok teater itu.

Tidak menutup kemungkinan, persoalan-persoalan ini akan terus dipersoalkan, hingga suatu saat nanti munculnya seorang teaterwan yang baru, yang mempertanyakan kembali seperti apa teater Indonesia sebenarnya. Hal ini adalah menjadi tugas kita bersama, dan berharap suatu saat nanti diadakan sebuah konferensi teater untuk menata kembali konsep-konsep yang sedemikian kaburnya itu. Dan sebelum itu terjadi, saat ini saya secara pribadi lebih suka menyebut teater kita sebagai teater Indonesia, tanpa adanya embel-embel modern, yang kemudian jika ingin dilekatkan pada suatu konsep bisa lebih lentur, misalnya menjadi teater realisme Indonesia, atau teater absurd Indonesia, dan lain sebagainya.


Antara Ideologi dengan Habitus Penonton

Kembali kepada persoalan ideologi di atas, berangkat dari pemikiran Abrams (1971:6-7), memang tidak bisa dipungkiri bahwa seorang seniman ataupun sebuah kelompok teater akan selalu dipengaruhi oleh ideologi-ideologi tertentu. Sebenarnya, bukan menjadi masalah jika sebuah teater terselimuti sebuah ideologi, tetapi yang perlu dipertanyakan adalah ideologi seperti apa yang dibawa kelompok teater itu.

Jika pertanyaan ini muncul, perhatian kita akan tertuju pada fungsi teater itu sendiri. Kalau misalnya Basuki memimpikan dunia tetaer semaju atau senormal dunia musik, identifikasi maju itu itu sendiri seperti apa? Apakah maju dari segi popularitas yang usia popularitas seni musik kita saat ini tidak lebih dari satu bulan. Ataukah maju dari sisi kualitas? Standar apa yang menunjukkan ukuran kualitas teater yang maju? Apakah dari segi isi, makna, artistic, estetik, ataukah justru ideologi tertentu?

Untuk menjawab persoalan ini, sejenak kita melihat perjalanan Shakespeare di abad XVI, karya-karya yang dipublikasikan mulai dari Titus Andronicus, Romeo & Juliet, Julius Caesar, Hamlet, sampai pada Timon of Athens, semuanya itu berangkat dari kisah-kisah klasik. Ia begitu rajin berburu cerita ke sana ke mari, membaca berbagai macam mitos, legenda, kemudia dirangkai kembali menjadi sebuah cerita yang bernuansa romatik (meski zaman romantic 200 tahun sesudahnya). Meskipun ia berasal dari Inggris, tetapi cerita-cerita yang digarap bukan hanya berasal dari inggris, tetapi dari italy, scotlandia dan juga dari berbagai Negara. Ketika kelompoknya ehndak mementaskan sebuah naskah (Romeo & Juliet misalnya), ia mengundang para seniman, kritikus, dan masyarakat dari Itali, karena naskah ini terinspirasi dari sana. Sampailah Ia berkeliling, dan terus-menerus menggali cerita, untuk dituang kembali menjadi naskah lalu kemudian dipentskan.

Hal yang serupa dilakukan pula oleh Riantiarno (teater Koma). Ia mencoba menjelajahi berbagai macam seni di wilayah nusantara, dan ia mendapatkan luar biasa banyak kesenian etnis yang masih hidup dan dipelihara hingga saat ini, meskipun pengaruh modernitas mulai memudarkan fungsi ritual pada kesenian itu.

Begitu juga halnya Teater Gandrik dengan mencoba mengangkat sisi tradisional ke atas pentas teater, yang tidak sedikit menggunakan inprovisasi, bahasa local, dan musik tradisional. Anehnya, pentas Teater Koma dan Teater Gandrik tidak pernah sepi dari penontonnya. Dan bahkan untuk bisa menonton pementasan teater itu, kadang butuh calo agar bisa mendapatkan tiket meski haranya lebih mahal.

Jika dilihat secara sosiologis, hal ini menunjukkan bahwa sebuah kelompok teater berada di sebuah tempat (field). Kemudian tempat itu akan selalu mempengaruhi keberadaannya. Jika sebuah kelompok teater tidak peduli dengan tempatnya, (misalnya tidak peduli dengan penonton), maka keberadaan teater itu pun senantiasa hidup dan dinikmati oleh kalangan sendiri (bukankah ini disebut onani), bukan menjadi milik masyarakatnya. Dari sisi pendekatan antropologis, sebuah kelompok teater, bisa menjadi agen perubahan social, seperti yang dilakukan Rendra bersama Teater Mandirinya. Lalu, posisi penonton dalam hal ini menjadi sangat penting untuk kelangsungan hidup sebuah kelompok teater.

Sebenarnya menonton adalah suatu aktivitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan makna. Penonton adalah pencipta kreatif makna (mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual) dan mereka melakukannya berdasarkan atas kompetensi kultural yang dimiliki sebelumnya yang dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial Chris Barker (2000:281). Lebih jauh, ia mengatakan bahwa teks membawa berbagai makna, dan hanya sedikit makna yang dapat diambil oleh penonton. Memang, penonton yang terbentuk dengan cara yang berbeda akan mengerjakan makna tekstual secara berbeda pula. Penonton dikonsepsikan sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengatahuan luas, bukan produk dari teks yang terstrukturkan.

Menonton seni pertunjukan adalah sebuah tindakan atau praktek individu/ kelompok dengan membawa dan mempertaruhkan berbagai bentuk modal yang dimilikinya dalam ranah seni pertunjukan, yang pada akhirnya secara tidak disadari menjadi habitus yang melekat pada diri seseorang/kelompok. Dalam hal ini, rumus generatif yang diajukan oleh Bourdieu (habitus x modal) + ranah = praktek terurai bersama kenyataan yang ada di masyarakat (Qodri, 2008).

Berarti, masyarakat datang menonton bukan dengan harapan kosong. Mereka memiliki modal social dan modal ekonomi yang akan mempengaruhi pandangannya terhadap sebuah pertunjukan. Artinya, perlu diingat bahwa masyarakat kita juga memiliki pandangan trersendiri tentang teater, dan bisa jadi pandangannya kurang cocok jika dibandingkan dengan teater tradisi yang mereka miliki.

Hal ini berarti pula, tidak ada salahnya jika pelaku teater Indonesia yang digagas dan dikonsumsi oleh kaum terpelajar menjalin hubungan yang harmonis dengan teater tradisi yang kita miliki, yang pada akhirnya nanti bisa saling mengisi dan saling mempengaruhi; dan bukan memutus hubungan masyarakat dengan orang-orang yang terpelajar itu.


Penutup

Kalau para pelaku teater sudi membuka diri, atau mencoba mengikuti jejak Rendra, Arifin C. Noer, Riantiarno, Emha Ainun Najib, Gandrik, Putu Wijaya, dan beberapa seniman teater lainnya yang melihat kembali dan mencoba mengembalikan konsep teater Indonesia menjadi milik masyarakat Indonesia, tentu tidak menutup kemungkinan apa yang dikatakan Putu Wijaya (2000) bahwa munculnya teater tradisi baru yang memiliki referensi sendiri, menjadi sesuatu hal yang mungkin. Kita memang tidak memungkiri bahwa konsep Barat begitu besar mempengaruhi tetaer Indonesia, bahkan seluruh Asia, tetapi jika terlalu fanatis berkiblat pada teater Barat, memutus hubungan dengan apa yang telah kita miliki selama ini (teater tradisi), dan tidak mau peduli dengan masyarakat yang menjadi audience, saya khawatir teater hanyalah menjadi tempat para onanier.

Senin, 27 Oktober 2008

Naskah Drama Monolog

SEBUAH MAKAM
DI KAMPUNG HALAMAN
Drama monolog oleh Yusran Hadi

Sinopsis:
Kisah ini bercerita tentang sebuah keluarga yang ditimpa kemalangan.
Jumnah, seorang TKW di Arab Saudi pulang dalam keadaan tertutup rapi di dalam peti mati. Tidak seorangpun dari sanak kerabat boleh melihat jasadnya. Anak, adik, suami, bahkan tuan guru sekalipun tidak diizinkan untuk membuka peti jenazah yang sudah terpaku mati itu.
Berbagai spekulasi muncul di seputar keadaan jenazah itu. Ada yang mengatakan jasad Jumnah mungkin kelewat hancur karena kecelakaan yang menimpanya di Arab sana kelewat dahsyad sehingga pihak memerintah melarang untuk membuka peti jenazah itu. Ada juga yang mengatakan, jangan-jangan semuanya sengaja ditutup-tutupi karena bisa saja tubuh itu sebelumnya sudah dibedah, sudah diambil organ-organ dalamnya untuk dijual oleh oknum-oknum tertentu. Bahkan ada yang mengatakan barangkali bukan jasad Jumnah yang ada di dalam peti itu, bisa saja orang lain.
Walaupun demikian tak ada satupun orang yang kuasa membuka peti jenazah itu hingga peti jenazah itu diturunkan ke liang laha, karena beberapa aparat dari imigrasi dan kepolisian mengawal dengan ketat seluruh prosesi pemakaman.
Kisah ini ditulis berdasarkan kisah nyata
yang menimpa seorang TKW Kotaraja Lombok Timur
juga yang menimpa seorang TKW lainnya asal Seganteng, Cakranegera.

BAGIAN I
Panggung adalah ruangan kosong yang hanya di isi oleh sebuah bangku dengan sebuah meja panjang di depannya. Lampu panggung tampak temaram. Saldun, seorang lelaki muda (kira-kira berusia 24 tahun) memasuki panggung sambil membopong sesosok jenazah wanita. Di punggungnya tergantung sebuah tas ransel.
Kelelahan dan keringat menghiasi wajahnya. Tubuhnya kuyup oleh hujan.
Suara hujan.
Suara angin dan petir bersahutan.

SALDUN:
Sedikit lagi. Ya..ya.. sedikit lagi… sabar ya… iya, nah disini. Kita istirahat dulu. Badanmu berat juga. Tapi tidak apa. Hitung-hitung balas jasa.
Ah… akhirnya kita sampai juga.

Membaringkan jenazah itu di atas meja.
Aku baringkan kamu di sini saja dulu.
Tenang saja, kita tidak akan membuat keributan apapun. Kita akan memasuki kampung dengan diam-diam. Kita buat orang-orang tidak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Apalagi anak-anakmu, kita biarkan saja mereka tertidur pulas melanjutkan mimpi-mimpi mereka. Mimpi-mimpi yang mungkin pernah juga kita alami dalam tidur-tidur masa kecil kita.

Duduk di bangku di samping meja. Ia lalu meraih botol minuman dari dalam tas ranselnya, kemudian minum beberapa teguk.

Aku haus. Ternyata aku baru tahu rasanya menggendong orang. Berat. Sebagai adikmu yang terkecil, tentu aku tak tahu rasanya menggendong adik. Tidak seperti kamu.
Haha… lucu juga, baru sekarang ini lah aku bisa menggendong kamu. Anak bungsu menggendong kakaknya. O iya, Kakak tenang disini dulu ya… akan kuperbaiki jahitanmu. Ini sedikit ada yang sobek. Tahan ya, Kak. Ini mungkin agak sakit..

Lelaki itu mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. Ternyata itu benang dan jarum jahit yang biasa dipakai untuk menjahit luka di rumah sakit. Ia lalu mulai menjahit beberapa bagian dari tubuh itu yang mengaga. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Tangannya seketika berlumuran darah yang sudah mengental. Tangan itu terlihat gemetar. Keringat dingin bercucuran dari tengkuk ke sekujur tubuhnya. Tangannya yang gemetar kian gemetar hingga kini seluruh tubuhnya ikut bergetar. Kakinya tiba-tiba saja jadi lemas dan terlihat lunglai. Ia terjatuh bersimpuh. Ia menangis. Sangat dalam. Sangat dalam tangisan itu.

Aku yang menorehkan luka itu di sekujur tubuhmu. Aku yang merajam lembaran kulitmu hingga terbuka seperti ini. Oh, ampuni aku, kakak….

Ia menggapai mayat itu. Disentuhnya kaki mayat yang dingin itu. Diciuminya kaki itu dengan air mata. Ia menangis sakit. Lalu ia berdiri dengan lemah berpegangan pada pinggir meja.

(kepada penonton)
Tubuh ini. Tubuh yang terbujur kaku di hadapan saudara-saudara sekalian ini adalah tubuh saudara perempuan saya. Tubuhnya penuh luka sayatan dimana-mana. Saya dan teman-teman saya yang melakukannya. Nama saya Saldun. Tadinya mahasiswa semester tujuh di fakultas kedokteran sebuah Universitas terkemuka di negeri ini. Membedah dan memotong-motong tubuh manusia memang sebuah bagian dari apa yang kami lakukan sebagai calon dokter. Tidak kurang delapan tubuh manusia kami butuhkan pada setiap semester untuk dijadikan sebagai bahan praktek. Salah satunya dia. Kakak perempuan saya.

Menarik nafas panjang

Entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja tubuhnya muncul di atas meja bedah ketika saya dan teman-teman hendak mengadakan penelitian tentang fungsi otot dan kontrol saraf pada tubuh manusia. Ketika hendak membedah kulit di sekitar otot paha itulah saya melihat bekas luka masa kecil yang sangat saya kenali. Dan ketika saya bersikeras untuk melihat wajah jenazah yang sedang kami bedah, saya baru tahu kalau ternyata tubuh yang terbujur kaku dan penuh sayatan itu adalah tubuh kakak perempuan saya.
Biadab!
Lalu siapa yang mereka kuburkan itu!?
Nampak sangat marah. Tangannya mengepal dan memukul-mukul meja. Ia nangis.

Empat hari yang lalu. Saya terkejut karena menerima telepon yang mengabarkan kakak telah meninggal dunia. Semula saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Apalagi mereka katakan kakak meninggal karena sakit. Padahal setahu saya, sebelum berangkat kakak sehat-sehat saja, bahkan ia lolos tes kesehatan yang menjadi syarat bisa berangkat sebagai TKI ke luar negeri.

Lalu saya segera memesan tiket pulang agar bisa hadir di pemakaman. Jenazah kakak telah dipulangkan dari Arab Saudi terlebih dahulu. Melalui Surabaya jenazahnya langsung diterbangkan munuju bandara Selaparang. Sesampainya saya di kampung halaman, saya langsung diserang keharuan yang sebenarnya telah menumpuk semenjak di Jogjakarta sana. Tangis, diselingi suara orang membaca surah Yasin menyeruak ke dalam dada saya menjadi irama yang memompa-mompa isak dan linangan air mata di wajah saya. Anak-anak itu. Tak kuasa saya melihat mereka kebingungan dalam raungan ayahnya.

Beberapa saat kemudian, saya mendengar orang-orang sedang bersitegang dengan aparat imigrasi dan kepolisian yang mengantarkan jenazah ke di rumah duka. Mereka tak mengizinkan keluarga untuk membuka peti jenazah yang telah di letakkan di ruang tengah itu. Tidak seorangpun, kata mereka. Kak Opik, suami kakakku tak kuasa menahan amarah dan dukanya.

Kulihat ia benar-benar terpukul, kak. Anakmu yang masih kecil-kecil hanya bengong melihat ayahnya menangis. Lalu mereka juga ikut menangis tanpa tahu duduk perkaranya. Kak Opik berteriak-teriak minta dibukakan peti jenazahmu yang sudah dipaku mati dan dikawal polisi. Beberapa kali ia jatuh pingsan. Aku tahu mungkin ia merasa sangat bersalah karena membiarkan kau pergi meninggalkan kampung halaman mencari rejeki di Arab sana.
Kau juga yang bersikeras untuk pergi.
Dan anak-anakmu itu. Ah,… tak tahu akan kemana dibawa agar tidak melihat kejadian paling memilukan dalam hidup mereka. Ibu tercinta pergi, dan pulang tinggal mayatnya saja.

Hingga jenazahmu diturunkan ke liang lahat, tak satupun orang diizinkan membuka peti jenazaah itu. Tidak juga tuan guru yang hadir di pemakaman itu. Suamimu tak kuasa menahan kesedihannya. Ia memberontak pada pegangan dua orang polisi yang memegangi tangannya dengan kuat ketika peti jenazah itu akhirnya diturunkan.

Dan orang-orang kampung itu, mereka mulai berbisik-bisik dalam berbagai praduga. Ada yang kudengar mereka mengatakan bahwa bisa saja kau tidak meninggal karena sakit, tapi mungkin malah dibunuh oleh majikanmu setelah terlebih dahulu dianiaya. Ada yang mengatakan mungkin saja ada kecelekaan yang merenggut nyawanyamu dengan sangat dahsyat hingga telah melumat sekujur tubuhmu, sehingga tak satupun orang boleh melihatnya.

Semuanya menunaskan bara di dalam bilik-bilik hati kami yang kian sempit dihimpit kesedihan.

Tidak ada yang tahu kebenaran apa yang menimpa jasadmu hingga saat ini. Hingga kuputuskan untuk mencuri jenazahmu dari ruang praktek bedah di kampusku. Kuputuskan juga untuk meletakkan statusku sebagai mahasiswa kedokteran di universitas itu. Tak bisa kubayangkan, jenazah-jenazah yang didatangkan untuk praktek para mahasiswa itu didapatkan dengan cara-cara yang tidak legal. Entah sudah berapa kali peristiwa seperti ini pernah terjadi.

Maaf, saudara-saudara. Saya tidak bermaksud memfitnah siapa-siapa. Tapi ini sudah jadi rahasia umum. Jual beli mayat ilegal untuk kemakmuran segelintir orang di negeri ini sudah sering terjadi. Anda belum dengar? Anda tidak pernah mendengar tentang mavia jual beli organ tubuh manusia?

Haha…

(Tertawa. Ia meraih bungkusan rokok di saku bajunya. Ia membakar dan menghisapnya dengan santai. Kemudian dengan gaya bicara yang meyakinkan khas seorang dokter ia mulai berbicara )

Dalam setiap kematian yang di sebabkan kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, bunuh diri dan keracunan, jenazah korban di wajibkan untuk di mintakan visum et repertum di bagian kedokteran forensik rumah sakit. Jenazah korban yang baru mengalami kejadian tersebut lalu dikirim ke bagian Lab Forensik yang biasanya juga berfungsi sebagai kamar jenazah khusus untuk kematian yang tidak wajar. Lalu orang-orang berseragam putih-putih akan datang. Mereka mengadakan praktikum pemeriksaan mayat alias visum dengan bahan percobaan jenazah orang yang malang itu. Para mahasiswa dan petugas kamar jenazah tersebut sangat senang jika ketika jenazah tiba di kamar jenazah , keluarga korban atau para ahli waris belum datang melihat keadaan jenazah. Hanya berselang waktu beberapa menit di dada korban akan ada bekas sayatan dan jahitan, mereka akan mengatakan bahwa itu disebabkan karena kecelakaan yang di alami si korban . Padahal sebenarnya bekas sayatan itu disebabkan karena organ tubuh korban baik berupa ginjal, jantung, paru- paru bahkan otak di ambil untuk keperluan praktek dan di jual kepada yang membutuhkan.
Anda tahu, biasanya jenazah anak-anak remaja yang paling menjadi incaran, paling banyak di ambil organ tubuhnya, karena rata-rata masih segar dan belum banyak terjangkiti penyakit . Organnya untuk di jual dengan harga yang sangat tinggi.

Kepada jenazah di depannya

Empat setengah tahun yang lalu, kau menikahi kak Taufik. Kau pergi dan memaksa putusnya restu ayah dan ibu terhadapmu.
Kau bersikeras melanjutkan kehidupan dengan lelaki pilihanmu. Lelaki jajar karang yang kau cinta walau tanpa persetujuan ayah dan ibu.
Kamu memilih untuk hidup sebagai orang biasa bersama lelaki itu daripada mempertahankan kebangsawanan yang kau anggap membelit tumbuhan cintamu.
Yah, lalu setelah anak keduamu lahir, kau meninggalkan kami semua. Kamu pergi untuk menyambung urat nadi kehidupan keluargamu yang hampir retas. Dengan dua orang anak, kau dan suamimu tak mampu bertahan di tengah belitan ekonomi yang semakin kasar.
Aku salahkan ayah serta ibu yang benar-benar tak mau tahu. Tak sepeserpun bantuan mereka berikan minimal untuk menyambung hidup anak-anak kalian. Sementara untuk anak-anak mereka yang lain, mereka perlakukan laksana raja. Termasuk aku yang mereka kuliahkan hingga ke sekolah yang menurut orang paling mahal dan bergengsi. Semuanya untuk meninggikan lebih tinggi lagi harkat dan martabat keluarga. Keluarga ningrat. Dokter ningrat!
Tai kucing!

Ia menangis lagi

Ia bangkit. Mengusap sisa keringat dan air mata.
Ia membuka baju dan jaketnya. Ia selimuti mayat wanita itu.
Disini dingin Kak… Maafkan, bukannya aku tidak bisa menyiapkan yang lebih baik. Menyiapkan selimut untukmu. Bukannya aku tak mau kau merasakan kenyaman di akhir keberadaanmu, tapi inilah adanya. Inilah yang mampu adikmu berikan. Seorang calon dokter yang gagal.
Kakak. Aku tahu aku selalu ceroboh. Tidak sepertimu yang selalu terampil dan penuh perhitungan. Kau cekatan. Bahkan menurut cerita ibu kaulah yang selalu mengganti popokku ketika aku bayi dulu. Kau yang selalu mengurusi kami adik-adikmu ketika ibu lebih sibuk melayani kepentingan-kepentingan ayah. Kaulah Kakak, yang selalu menyelimutiku apabila hujan tiba dan aku terbangun karena dingin yang mengigit kulitku. Bahkan ketika ibu tak kunjung pulang dari menemani ayah yang pergi bertugas ke luar kota, kau yang selalu memelukku hingga tertidur di dalam kehangatan dekapanmu.
Aku tahu kau kedinginan. Aku tahu kau juga sakit, perih karena pisau bedah menyelami daging di bawah kulimu.

Ia memeluk mayat itu. Ia dekap mayat itu dengan penuh kasih.
Lalu ia bernyanyi. Sambil bernyanyi, ia menggendong jenazah itu, diayun-ayunnya sepeti menggendong seorang bayi.

Tindok adik… Tindok adikku sak solah….
Buak ate, kembang mate
Pangeran laki bini…
Mum wah beleq adik,
Tepacu nuntut ilmu,
Jari sango eraq
lek jelo mudi…*)

Kau selalu menyayikan lagu ini, kak. Aku ingat, kau selalu menyanyikan lagu ini untukku ketika kau hendak beranjak tidur. Kalau aku nakal dan tidak kunjung tidur, kau biasanya akan menakut-nakutiku dengan nyanyian yang lain.

Meletakkan jenazah kakaknya kembali di atas meja.

Nyanyian yang akan membuat bulu kudukku berdiri dan langsung menyusup ke dalam pelukanmu.

Ring ring gak
kutekik gedeng antap
sai jari tengak iye jak ku angkat…
angkat tumate, tuselak mudin bale…**)

Ia menyanyikan lagu itu dengan gaya menakut-nakuti. Ia mengitari meja tempat jenazah itu terbaring. Tapi kemudin ia berhent dan kembali menangis. Tersedu-sedu.

Sekarang kamu sudah mati kak. Mati. Kamu yang jadi tumate sekarang! (Menangis lagi).

Bangkit dengan cepat. Ia membereskan botol minumannya. Ia juga tak lupa memotong benang jahit yang masih menanjap di kulit jenazah kakaknya. Tidak ada gunting, ia potong benang itu dengan giginya.

Sudah kak, kita harus bergegas. Aku akan siapkan sebuah makam untukmu. Sebuah makan yang indah di kampung halaman.

Ia memanggul jenazah itu. Kemudian ia berlalu pergi.


BAGIAN II
Bagian ini menggambarkan keadaan Taufik, suami Jumnah sepeninggal Jumenah.
Suara petir dan hujan masih terdengar. Musik sendu mengaksentuasikan suasana tanah Sasak.

Sebuah ruang kosong. Tikar pandan tergelar di tengahnya.
Nampak seorang lelaki memasuki panggung dengan cara yang tidak lazim. Dialah Taufik, suami Jumenah. Dari pojok belakang panggung ia menggelinding perlahan, berputar dengan punggung membelakangi penonton.

Pokoknya tidak. Sekali tidak. Tidak.
Kau tidak boleh pergi ke saudi, korea, atau malesia
Anak-anak masih kecil.
Biar aku yang pergi cari rejeki.

Dia terus berputar.

Memang tidak ada siapapun yang mampu menjamin hidup seseorang bisa lebih baik dari sebelumnya. Tapi kita patut berusaha. Berusaha lebih keras lagi.
Tapi tidak dengan menjadi TKW!
Tidak!

Dengan nada berbeda
Iya aku tahu. Tapi anakmu ini. Hadi masih sering menangis keras bila kamu tinggalkan.

Aku tidak ragu. Tapi coba kamu lihat berita di TV. Banyak yang mati gantung diri. Diperkosa. Dianiaya berbulan bulan tidak dikasih makan. Dijadikan pelacur. Pantat dan kemaluannya di setrika, dikasih cabe pedas dan wortel.

Tidak! Dengan nada keras.

Ia berdiri. Tetapi kemudian rebah lagi.
Sekarang dia bergulig-guling.

Ia berbicara seperti menerima telpon dari seberang
Ya halo… solah keadaanm te arik? Aneh gamak piran yakm ulek!? Uah dua kali lebaran ne tatik. A… o sehat… sehat…. Aok. Ooo.. Aok. Pire? Sejute? Aok uah ke beliangan kelambi, selane, sepatu, bayah SPPn Rita endah. Yakm ngeraos? Ooo…Ne, ne ye ne, …
( Bahasa Sasak: Ya halo… bagus keadaanmu di situ dek? Ayo, dong kapan kamu jadi pulang? Sudah dua kali lebaran ini sayang. A? o iya sehat, sehat… Iya. Ooo…Iya. Berapa? Satu juta? Iya sudah aku belikan baju, celana, sepatu, bayat SPPnya Rita juga. Kamu mau bicara? Ooo… Ini… ini dia nih…)

Duduk di tikar pandan, seolah-olah berbicara kepada kedua anakknya
Aneh inaqm yak’en ngeraos nane. Beng arikm bejulu Rita. Engkah pade berebut! Nggak-nggakn Hp bapak tie… A…? Ape unin inakm anakke? Halo unin? Widik gamak tatik….
(Ayo, ibumu mau bicara sekarang. Kasih adikmu dulu, Rita. Jangan berebut! Hanya itu Hp yang bapak punya. A…? Apa kata ibumu, Nak? Halo katanya? Aduh, anakku sayang….)

(Seolah memeluk anaknya)

Astage. Ambu ape ne..?? o, gamak iye nai… aro wah ambun… (Suasana berganti. Ia mengangkat bantal guling dihadapannya dan membawanya berlari keluar seakan menggendong seorang bayi yang akan dibawa ke kamar mandi untuk diceboki. Tidak beberapa lama ia muncul kembali dengan wajah yang berbeda. Lebih santai, dibahunya disampirkan selembar popok bayi. Sambil bernyayi ia mengganti popok bayi dalam hayalnya itu).


Ape… (Seolah mendengar suara anaknya memanggil. Ia bangkit dari duduknya)
Aaa… O iya. Tunggu sebentar! Kenapa nak? Kenapa?
Uu… Solah, sabar ya, nanti bapak yang sapu. Maen sana Nak ya… Mau sama ibu? U.. sayang… nyapu saja ya sama Bapak nak….
O iya sama ibu… tunggu sebentar ya,

Ia membuka sarungnya. Ia membuka ikat kepalanya lalu diikatkan pada kedua ujung sarung itu. Kedua ujung sarung itu lalu diikatkan di bagian belakang lehernya hingga membentuk mirip sebuah daster. Kini ia mulai menyapu.

Nah, begini caranya nyapu ya Nak…Nah.. itu. Itu.. kotor masih itu… Naaa… ya sudah teruskan belajar nyapu ya…

Suara anak kecil menangis.

Ya… sebentar.

Ia mengambil ikat kepalanya kepalanya. Sarung yang tadi diikatkan di belakang kepala dibuka. Ikat kepala diikatkan pada kain sarung di tengah-tengah pinggangnya. Lalu kain pada bagian atas itu diturunkan maka jadilah kain sarung tadi menyerupai sebuah rok. Ia bergegas menuju suara tangisan. Ia lalu muncul sambil menggendong sebuah bantal guling. Di tangannya yag lain sebuah botol minuman bay. Bak cucian ia dorong-dorong dengan kaki ke depan sebuah dampar kayu. Lalu ia duduk dan mulai mencuci.
Ia menggendong sembari mencuci.

Lampu gelap

BAGIAN III
Lelaki tadi menggelar tikar bolong. Ia seolah sedang bersama kedua orang anaknya. Ia menina bobokan bantal guling di pangkuannya.

Nah, sekarang kita ti… dur…
Biar cepat be…sar…
Biar bisa ketemu i…bu…
Tidur ya nak ya….

Menyanyi:
Tindok adik… Tindok adikku sak solah….
Buak ate, kembang mate
Pangeran laki bini…
Mum wah beleq adik,
Tepacu nuntut ilmu,
Jari sango eraq
lek jelo mudi…

Kesel
Ayo tidur… Aduh jangan nakal…
Awas, awas, nanti dimarah ibu kalau pulang…
Awas nanti dateng tuselak…

Ring ring ngak
Kutokek gedeng antap
Sai jari tengak iye jak ku nagkat…..

Na… jak… na…
Ayo tidur… tidur…
Haha hahaha…..




SELESAI

Mataram, Juni 2008



*) tindok adik, lagu daerah suku sasak
**) lagu sasak untuk menakuti anak kecil yang tidak mau segera tidur.

Melihat Bintang

mari buka mata
lihatlah cecaran gemintang bertaburan di sela mega
ada yang jauh
ada yang terlalu amat jauh
ada yang beriringan menabur jejak keperakan
ada juga yang tersesat sendiri
tapi semua bercahaya
semua memancar sinar
kau tinggal duduk saja
lepaskan pandang matamu
pilihlah satu atau beberapa untukmu
jadikan pedoman
atau sebagai penanda
bagi kenangan yang pernah tersimpan

KIRIM TULISAN KE...

tulisan atau komentarmu dapat juga di kirim ke yoes_antitesa@yahoo atau kejorabintang33@yahoo.co.id